AMNESTY
INTERNASIONAL: HAPUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
London, 24/11 (ANTARA) -
Amnesty International berharap Pemerintah Indonesia menghapusan
kekerasan terhadap perempuan, karena masih banyak menjadi korban
kejahatan di bawah hukum internasional dan pelanggaran HAM berat.
Perempuan dan anak
perempuan mengalami pelanggaran HAM berat, termasuk pembunuhan di
luar hukum, pemerkosaan dan kejahatan kekerasan seksual lainnya dan
penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya selama konflik di berbagai
daerah, termasuk Aceh dan selama okupasi Timor-Leste (1975 - 1999),
demikian Campaigner - Indonesia & Timor-Leste Amnesty
International Secretariat, Josef Roy Benedict, kepada ANTARA London,
Sabtu.
Ketika dunia menandai Hari
Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, di
Indonesia, banyak perempuan korban kejahatan di bawah hukum
internasional dan pelanggaran HAM berat terus disangkal hak mereka
untuk keadilan, kebenaran dan reparasi.
Amnesty International yang
bermarkas di London mendesak Dewan Pertimbangan Presiden, yang
dipahami menyiapkan rencana untuk menangani pelanggaran-pelanggaran
HAM berat, dipastikan rencana tersebut memuat langkah-langkah
terjadwal untuk merespon situasi perempuan korban konflik.
Menurut Amnesty
Internasional, banyak korban perempuan masih tidak memiliki akses ke
layanan medis, psikologis, seksual dan reproduksi atau layanan
kesehatan mental yang memadai untuk penderitaan yang disebabkan oleh
pelanggaran HAM tersebut.
Dan bagi perempuan dan anak
perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan berbasis gender,
stigma yang terkait dengan kejahatan tersebut telah menciptakan
budaya diam di mana banyak ketakutan untuk melaporkan kasus mereka,
dan mencegah mereka mengakses keadilan, kebenaran dan reparasi.
Perempuan dan anak
perempuan tidak hanya menderita sebagai korban langsung pelanggaran
HAM, tetapi juga secara tidak langsung sebagai anggota keluarga dari
mereka yang tewas atau mengalami penghilangan paksa, ujarnya.
Di bawah hukum
internasional pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk
memberikan reparasi penuh dan efektif bagi para korban pelanggaran
hak asasi manusia. Sebuah program reparasi nasional harus didirikan
untuk mengambil langkah-langkah restitusi, kompensasi, rehabilitasi,
kepuasan, dan jaminan hal itu tidak akan terulang lagi.
Amnesty International
menyerukan pada pemerintah untuk merancang program ini dengan
berkonsultasi dengan para korban, memberikan perhatian khusus kepada
perempuan, dan harus mempertimbangkan pengalaman yang berbeda antara
perempuan dan laki-laki, serta anak-anak, dalam pembentukan dan
implementasi program ini.
Amnesty International
menyambut baik pengumuman oleh pemerintah selama sesi Dewan HAM PBB
pada bulan September bahwa ia sedang menfinalisasi RUU komisi
kebenaran dan rekonsiliasi. Kegagalan pemerintah sampai saat ini
untuk membentuk sebuah komisi kebenaran nasional telah meninggalkan
banyak korban, termasuk perempuan dan anak perempuan, tanpa mekanisme
yang efektif untuk kebenaran dan reparasi penuh dan efektif.
Namun, komisi kebenaran
tidak harus digunakan sebagai pengganti untuk proses peradilan
pidana. Apabila suatu komisi kebenaran mengumpulkan informasi yang
menunjukkan tanggung jawab pidana individu, ia harus meneruskan
informasi tersebut kepada pihak berwenang yang relevan untuk
penyelidikan lebih lanjut. Di mana bukti-bukti yang cukup ada, mereka
yang bertanggung jawab atas kejahatan di bawah hukum internasional
harus dibawa ke pengadilan, dalam proses yang adil, tanpa menggunakan
hukuman mati.
Sebuah komisi kebenaran
tidak harus memiliki kewenangan untuk merekomendasikan amnesti atau
tindakan impunitas serupa terhadap kejahatan di bawah hukum
internasional. Pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi Indonesia
membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (No. 27/2004)
setelah menetapkan ketentuan pemberian reparasi pada korban hanya
bisa terjadi bila mereka setuju memberikan amnesti kepada para
pelaku, bertentangan dengan konstitusi.
Amnesty International
menyerukan DPR untuk segera berdebat, mengesahkan dan
mengimplementasi UU baru mendirikan komisi kebenaran yang sejalan
dengan hukum dan standar internasional untuk memastikan bahwa
kejahatan di bawah hukum internasional dapat diatasi secara efektif.
Keprihatinan dan
rekomendasi serupa juga telah diajukan oleh Komite PBB tentang
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW). Dalam
Pengamatan Penutup (Concluding Observations), yang diterbitkan pada
tanggal 27 Juli 2012, Komite CEDAW mendesak Indonesia untuk segera
menyelidiki, menuntut dan menghukum semua tindakan kekerasan terhadap
perempuan, termasuk tindakan kekerasan seksual, yang dilakukan oleh
aktor swasta dan aparat keamanan.
Komite CEDAW juga mendesak
pemerintah untuk mengambil langkah-langkah komprehensif untuk
memberikan dukungan medis dan psikologis untuk perempuan korban
kekerasan, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan selama konflik,
dan untuk mendirikan pusat konseling bagi perempuan. Amnesty
International mendesak pemerintah Indonesia untuk melaksanakan
rekomendasi ini tanpa penundaan.
(ZG)
(T.H-ZG/B/E001/E001)
24-11-2012 21:35:12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar