17 DOSEN INDONESIA IKUTI ARFI DI
MAROKO
London, 15/11 (ANTARA) - Sebanyak
17 dosen dan guru besar dari Perguruan Tinggi Islam di berbagai wilayah
Indonesia mengikuti program "Academic Recharging for Islamic Higher
Education (ARFI)" di Maroko.
Program yang dirancang Kementerian
Agama RI bekerjasama dengan KBRI Rabat ini bertujuan menyegarkan dan memberikan
wawasan baru tentang Studi Islam dan Bahasa Arab dan diharapkan dapat
ditransfer mengembangkan pendidikan tinggi di Indonesia, kata Sekretaris Pelaksana Fungsi Pensosbud KBRI,
Suparman Hasibuan, Kamis.
Program yang berpusat di
Universitas Mohamed V Agdal-Rabat
berlangsung selama 45 hari dan diisi para akademisi serta cendikiawan
Maroko bekerjasama dengan sembilan
perguruan tinggi yang tersebar di berbagai kota serta organisasi
internasional ISESCO dan institusi
swasta Qalam wa Lawh Arabic Language Center serta dua pusat perpustakaan.
Program Academic Recharging
secara resmi dibuka dengan studium general Dubes RI untuk Kerajaan Maroko H.
Tosari Widjaja di ruang auditorium KBRI Rabat yang membawa tema Hubungan
Kerjasama Indonesia - Maroko.
Di hadapan para peserta, staf
KBRI Rabat dan masyarakat serta anggota PPI Maroko, Dubes Tosari Widjaja
menyampaikan Islam dengan konsep khairu ummahnya telah mampu mencapai masa
keemasan pada abad pertengahan dengan berbasis ilmu pengetahuan dan lembaga
Pendidikan.
Dalam sejarah perkembangan Islam
di Barat, Maroko mempunyai peran dan akar kuat dalam tradisi keilmuan yang
menjadi potensi besar untuk dapat bekerjasama dengan Indonesia sebagai bangsa
dengan jumlah muslim terbesar dunia untuk membangkitkan kembali ruh peradaban
Islam berbasis ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan.
Dikatakannya sebut saja
Universitas Al Qarawiyin di Fes-Maroko yang merupakan universitas tertua di
dunia telah berdiri sebelum Al-Azhar. Universitas yang dibangun seorang wanita
Fatima El Fihri pada tahun 859 M ini mempunyai andil besar dalam
mentransformasi peradaban Islam ke kawasan Barat.
Menurut Dubes, dengan tradisi belajar dan mengajar bersama
antara muslim dan non-muslim yang kemudian menjadi benih budaya toleransi dan
moderasi masyarakat Maroko hingga saat ini.
Sementara Islam di Maroko sama
dengan Indonesia, toleran, moderat dan menerima kemajuan dan modernisasi,
demikian Dubes Tosari Widjaja.
Lebih lanjut Dubes Tosari
Widjaja menyampaikan jembatan kerjasama Indonesia-Maroko harus dibangun kembali
setelah sekian lama terendam.
Hubungan kedua bangsa ini
sebenarnya telah di mulai pada masa Pengelana Ibnu Batutah singgah ke Samudera
Pasai sampai kepada semangat revolusi kemerdekaan yang dibawa Soekarno ke
Maroko.
Peran membangun jembatan kerjasama ini
dapat diambil oleh para cendekiawan dengan menciptakan kerjasama secara luas
antara lembaga pendidikan kedua negara yang hasilnya disumbangkan untuk
kemajuan peradaban dunia, ujar Dubes Tosari Widjaja.
Dubes juga menyampaikan langkah strategis membangkitkan ruh peradaban
ini, diantaranya dengan membangun jaringan kerjasama antar institusi pendidikan
kedua negara dengan mengembangkan konsep twin university.
Diharapkan akan dapat menumbuhkan
tradisi dialog dan diskusi, mendukung dan menghargai upaya penelitian dan
pengembangan keilmuan, mendorong budaya menulis dan penerbitan hasil riset ke
jurnal internasional dalam berbagai bahasa.
Selain pengembangan kapasitas dan
kualitas berkelanjutan, merintis perpustakaan elektronik yang dapat dijadikan
rujukan dari seluruh dunia serta mendorong kaum terdidik agar dapat aktif
berbahasa asing agar para kader terbaik bangsa ini dapat maju dan berperan ke
pentas dunia.
***3*** (ZG)
(T.H-ZG/B/M019/M019) 15-11-2012
05:36:55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar