Senin, 28 Juni 2010

TOSARI WIDJAJA: DARI SENAYAN KE NEGERI SENJA

TOSARI WIDJAJA: DARI SENAYAN KE NEGERI SENJA

Oleh Zeynita Gibbons

Dunia diplomasi bukanlah hal yang baru bagi Tosari Widjaja, pengalaman sebagai pimpinan organisasi Serikat Buruh, anggota DPR, Komisi I dan anggota BKSAP DPR-RI, telah menempa kepiawaiannya menyelenggarakan urusan perhubungan antar negara.

Oleh karena itu Tosari Wijaya sangat percaya diri ketika turut dalam "fit and proper test" calon Dubes di hadapan anggota Komisi I DPR. Ia akhirnya ditetapkan Presiden menjadi Duta Besar untuk Maroko.

"Pada pada dasarnya sebagai anggota DPR juga merupakan suatu dunia diplomasi, karena wakil rakyat di Senayan bukan saja sebagai politisi, tapi juga diplomat, ia harus mampu sebagai negarawan," ujar Tosari Widjaja kepada koresponden ANTARA London dalam perbincangan santai didampingi sang istri Ny Mahsusoh Ujiati, di Wisma Duta, Rabat, Maroko, baru baru ini.

Menurut Tosari Wijaya, ia selalu ikut dalam proses pemberian pertimbangan calon dubes melalui "fit and proper test", tapi kali ini ganti dia yang diuji oleh rekan-rekan di DPR.

Pengalamannya di Komisi I dan di Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR, membuat mantan Sekjen PPP ini paham betul materi apa saja yang biasanya ditanyakan para anggota dewan ketika melakukan uji kelayakan kepada para calon wakil negara di luar negeri.

Diungkapkan, ketika PPP memintanya untuk kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat untuk periode 2008-2013, alumnus UIN Malang ini memutuskan untuk istirahat dari Senayan.

"Saya sudah 18 tahun di Senayan. Saya pikir, sudah cukup mengabdikan diri di situ. Jadi, ketika partai menghendaki saya untuk maju lagi, saya tidak bersedia," kata penerima Bintang Mahaputra Adipradana yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Istana Negara, Agustus tahun lalu sebagai bentuk penghargaan atas pengabdiannya kepada bangsa dan negara Indonesia.

Tosari Widjaja yang pemerima Medali sebagai penghargaan dari House of Representative of the Philippines, karena keterlibatannnya dalam membangun dan melahirkan "Association of the Asian Parliamentary for Peace (AAPP)", yang kemudian berubah menjadi "Asian Parliamentiary Assembly (APA)".

Menurut Tosari, ia tetap ingin mengabdi kepada bangsa, negara dan umat dalam kapasitas apa pun, yang semula sudah mempersiapkan diri untuk beralih fungsi melanjutkan cita-cita semasa muda sebagai Pengasuh Pondok Pesantren, akhirnya menerima tawaran dari partai.

"Kalau partai masih menghendaki, saya siap ditugaskan di luar Senayan," ujar salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU), organisasi massa Islam terbesar di Indonesia dan dunia.

Tosari tidak pernah berpikir, kalau di luar Senayan itu adalah menjadi Dubes. Karena bagi dia, ditugaskan di mana saja, dan sebagai apa saja, adalah sebuah pengabdian dan perjuangan.

"Ternyata Pimpinan PPP, Hamzah Haz dan Suryadarma Ali, mengajukan namanya sabagai calon Dubes," kata Tosari.
Bahkan informasi diterimanya sebagai calon dubes, diterimanya pada saat ia berada di wilayah Segi Tiga Emas opium, mengikuti Seminar Parlemen ASEAN di Thailand Utara untuk melakukan kerjasama pemberantasan opium/narkoba dari aspek perundang-undangan.
Diungkapkan, dia adalah orang PPP ketiga yang ditugaskan sebagai duta besar. Yang pertama Abdullah Syarwani, kedua Andi Ghalib. "Waktu Pak Abdullah Syarwani, dia menjadi calon tunggal, sedangkan pada saat zaman Andi Ghalib, ada delapan calon. Nah, saya, kembali menjadi calon tunggal," katanya.

Dikatakan alumnus University of The Philippines (UP), Manila, menjadi Duta Besar itu bukan hanya sekedar menjadi wakil negara dan pemerintah saja. Tetapi juga harus mampu menjadi seorang negarawan sekaligus juga seorang politisi, menjadi orang tua bagi WNI yang berada di negara akreditasi, bahkan sahabat bagi warga negara akreditasi di semua lapisan.

Bahkan, kata ayah enam anak dan kakek 13 cucu ini, jabatan tinggi seseorang, belum bisa menjadi jaminan seseorang itu cocok ditugaskan sebagai duta besar, karena dibutuhkan kecekatan untuk melakukan terobosan, baik bagi mitra negara akreditasi, bahkan yang datang dari kendala dalam negeri sekalipun.

"Duta besar itu kan harus melayani semua lapisan masyarakat. Jadi di sini, dibutuhkan orang yang fleksibel, luwes, tidak kaku," kata pria kelahiran di Probolinggo, 20 Agustus 1940, yang pernah melakukan jalan kaki keliling Pulau Jawa di tahun 1956 dengan menempuh jarak 2.100 km.

Selama berkarya di dunia politik, Tosari Widjaja juga aktif dalam berbagai forum dan pertemuan internasional, baik pada tingkatan regional maupun multilateral, seperti PBB, ILO, GNB, OKI, IPU, APA, AAPF dan pertemuan internasional lainnya.
Tosari sendiri tidak pernah membayangkan kalau dia akan ditugaskan menjadi duta besar, apalagi di Maroko. Dikatakan, hampir semua negara pernah dikunjungi, baik saat sebagai wakil rakyat, maupun tugas-tugas lainnya.

"Saya ke Spanyol dan negara Eropa lainnya berkali-kali, juga di negara di kawasan Afrika, Amerika Latin, tapi justru ke Maroko belum pernah. Eh, nggak tahunya saya justru ditugaskan menjadi dubes di sini," kata wakil Ketua Badan Pekerja MPR-RI tahun 1997-1999.

Begitu sampai di negeri senja tiga bulan lalu, Tosari langsung tancap gas merancang dan merealisasikan berbagai program kerja, untuk mempererat hubungan diplomasi antara dua negara. Bahkan merancang acara resepsi peringatan 50 tahun hubungan bilateral Indonesia Maroko yang berlangsung dengan sukses.

Di bidang pendidikan misalnya, dia jemput bola dengan mengunjungi berbagai universitas di Maroko. Tosari juga mengajak sejumlah universitas di Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan sejumlah universitas di Maroko.

Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) di Semarang, kini telah menjalin kerjasama dengan tiga universitas Maroko, yakni Universitas Al Akhawayn di Ifrane, Universitas Sidi Muhammad bin Abdillah di Fes, dan Universitas Maulay Ismail di Meknes.

Di bidang budaya, KBRI Rabat baru-baru ini menampilkan demontrasi batik yang ditetapkan sebagai budaya warisan dunia oleh UNESCO disamping keris dan wayang, cuplikan sendratari Ramayana berbahasa Arab, mungkin yang pertama di dunia, serta menggelar peragaan busana batik dengan melibatkan peragawati dari Marako.
Menariknya, setiap kali menggelar berbagai kegiatan sosial budaya, Tosari meminta agar selalu melibatkan orang-orang Maroko. "Waktu fashion show batik, saya minta peragawatinya ada orang Marokonya," ujarnya.

Demikian juga saat perayaan 50 Tahun Hubungan Bilateral Indonesia Maroko, selain tari Merak, ditampilkan juga musik tradisional Maroko, ujar dan salah satu tokoh nasional di bidang ketenagakerjaan, pertanian, kepemudaan serta menulis buku "Karir Politik Anak Desa-Sebuah Otobiografi".
"Maksud saya, suatu hubungan itu kan melibatkan dua pihak. Kalau semuanya yang ditampilkan Indonesia, lalu Marokonya di mana, sementara kita tinggal di Maroko, itu termasuk sebagai diplomasi publik," ujar Tosari Widjaja, yang aktif mengajar pada berbagai pendidikan tinggi, baik di Indonesia maupun di mancanegara.

Saat peringatan 50 Tahun Hubungan Indonesia-Maroko, yang dihadiri oleh lebih 80 perwakilan negara-negara sahabat, serta para tokoh masyarakat Maroko itu, juga ditampilkan musik gamelan. Tosari dan istri yang sama-sama berasal dari Jawa Timur ini, ikut menjadi pemainnya.

Begitu pertunjukan usai, tepuk tangan para hadirin, termasuk Wakil Menlu Latifa Akherbach, membahana di taman belakang wisma tempat acara resepsi yang ditata dan dihias serta hidangan makanan khas Indonesia yang menjadi sajian.

Pada peringatan 50 tahun hubungan bilateral Indonesia Maroko Tosari bertekad memperkuat hubungan Indonesia dengan Maroko dalam berbagai hal baik dalam hal politik maupun ekonomi.

Hubungan baik itu sudah ada sejak lama, setidaknya sejak tahun 1950, saat Kerajaan Maroko masih berada di bawah proteksi Perancis. Bahkan hubungan itu telah terjalin sejak abad ke 12 M, saat para ulama Maroko mengembangkan Islam ke wilayah Asia Tenggara.

Setahun sebelum lepas dari proteksi Perancis, Maroko mengirimkan utusan ke Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung 1955 yang digagas Presiden Sukarno dengan sejumlah pemimpin negara Asia dan Afrika yang baru merebut kemerdekaan dari kaum kolonial.

Nama besar Indonesia telah terpatri di hati Bangsa Maroko, bahkan sejak sebelum merdeka dari penjajahan Prancis, melalui Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955. "Indonesia membangkitkan kesadaran dan semangat juang rakyat Maroko untuk membebaskan diri dari kolonialisme," ujarnya
Tosari memandang Maroko sebagai pintu masuk alternatif ke kawasan penting ekonomi dunia, yakni Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Afrika. Maroko memiliki perjanjian zona perdagangan bebas dengan kawasan-kawasan itu.

Memperkuat hubungan ekonomi dengan Maroko berarti menjadikan Maroko sebagai "Pintu Gerbang" pembangunan dan pengembangan ekonomi dan perdagangan Indonesia di masa yang akan datang, kata Tosari Widjaja.

(T.H-ZG/B/T010/T010) 28-06-2010 06:13:32

Tidak ada komentar: